Kartini, Emansipasi, dan Kontroversi
Thursday, April 17, 2008
"Saja ada satoe Botjah-Boedha, maka itoe ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang berdjiwa. Ketika saja masih anak-anak, saja telah dapat sakit keras, dokter-dokter tidak bisa menolong, mereka poetoes asah. Waktoe itoe, seorang Tionghoa (seorang hoekoeman dengan siapa kita masih anak-anak soeka bersahabatan) tawarkan dirinja boeat menolong saja. Saja poenja orang toea menoeroet dan saja betoel-betoel djadi semboeh. Apa jang obat-obatan dari orang-orang terpeladjar tidak mampoe, djoestroe obat-tachajoel jang menolongnja. Ia menolong saja dengan tjoema-tjoema, saja disoeroe minoem aboe dari hioswa jang dibakar sebagi sembah-bakti pada satoe Tepekong Tionghoa. Lantaran minoem obat itoe saja djadi anaknja Orang Soetji itoe, Santikkong Welahan. Pada kira-kira satoe tahoen jang laloe saja mengoenjoengi Orang Soetji itoe. Ia ada hanja satoe Patoeng Emas jang ketjil dan siang malam dilipoeti asep hio. Bilamana ada berdjangkit wabah penjakit heibat, patoeng ketjil ini digotong-gotong kesana-sini dengan pake oepatjara boeat oesir pengaroeh djahat dari iblis-iblis. Memahami utuh pikiran Kartini terlihatlah jelas betapa ia orang yang kritis dan cerdas atas kondisi sosial dan sebagai pemeluk agama yang taat dan saleh ia menghargai pengobatan alternatif yang oleh kedokteran Belanda dan Barat saat itu dianggap terbelakang, tetapi ia sekaligus menyayangkan praktek perdukunan yang seringkali mengikuti pengobatan itu. Sebagai orang muda terpelajar yang berkeinginan melanjutkan studi kedokteran di Betawi (tapi ayahnya melarangnya) Kartini tentu mengerti bahwa penyakit bukan disebabkan oleh arwah jahat yang bisa diusir dengan asap. Namun demikian ia bijak menghargai upaya pengobatan demikian.
Itulah terjemahan surat yang dikirim oleh R.A.Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis to Licht.
Kartini dilahirkan dari keluarga ningrat Jawa pada 21 April 1879 di Jepara. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hanya sampai usia 12 tahun. Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orang tuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Kartini telah memberikan inspirasi kepada banyak wanita di dunia, bahkan Eleanor Roosevelt pun terkesan setelah membaca terjemahan kumpulan surat-surat Kartini, Letters of a Javanese Princess. Bagi Eleanor Roosevelt, gagasan-gagasan yang ditemukannya dalam surat-surat itu sangat menggugah hati nuraninya. Ditengah pro kontra Kartini pada tahun 1964 dia dinyatakan sebagai pahlawan nasional, tokoh pendidikan dan emansipasi perempuan. Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita tetapi faktanya dia adalah anak selir, bukan anak garwo padmi dan Kartini merupakan istri keempat dari Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya
Selain Kartini masih banyak pahlawan-pahlawan yang layak menyandang pahlawan emansipasi wanita :
R. Dewi Sartika, sudah mendirikan sekolah-sekolah bagi anak perempuan di daerah Pasundan pada tahun 1904, tahun wafatnya Kartini.
Cut Nyak Dhien, adalah seorang pahlawan wanita dari Aceh yang bersama suaminya Teuku Umar mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda.
Cut Meutia dalah tokoh pahlawan dari Aceh yang bersama suaminya Teuku Cik Tunong juga mengangkat senjata dan berperang melawaan Belanda.
Rahma el-Yunusia di Padang juga mendirikan sekolah-sekolah bagi anak perempuan; dan dia sangat tegas menolak semua tawaran Belanda untuk memberinya subsidi, karena dia tidak ingin terikat.
Rohana Kudus, adalah wanita Indonesia pertama yang memimpin surat kabar Soenting Melaju. Ia menjadi pioner perdebatan gender dan hak-hak wanita Minangkabau.
Mengapa harus Kartini yang menjadi Pahlawan Emansipasi Wanita ? Bukankah nama-nama diatas juga pantas mendapat gelar tersebut. Perjuangan mereka lebih nyata dan bukan sekedar pemikiran yang ditungkan dalam surat korespondensi dengan teman.
Itulah terjemahan surat yang dikirim oleh R.A.Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis to Licht.
Kartini dilahirkan dari keluarga ningrat Jawa pada 21 April 1879 di Jepara. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hanya sampai usia 12 tahun. Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orang tuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Kartini telah memberikan inspirasi kepada banyak wanita di dunia, bahkan Eleanor Roosevelt pun terkesan setelah membaca terjemahan kumpulan surat-surat Kartini, Letters of a Javanese Princess. Bagi Eleanor Roosevelt, gagasan-gagasan yang ditemukannya dalam surat-surat itu sangat menggugah hati nuraninya. Ditengah pro kontra Kartini pada tahun 1964 dia dinyatakan sebagai pahlawan nasional, tokoh pendidikan dan emansipasi perempuan. Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita tetapi faktanya dia adalah anak selir, bukan anak garwo padmi dan Kartini merupakan istri keempat dari Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya
Selain Kartini masih banyak pahlawan-pahlawan yang layak menyandang pahlawan emansipasi wanita :
R. Dewi Sartika, sudah mendirikan sekolah-sekolah bagi anak perempuan di daerah Pasundan pada tahun 1904, tahun wafatnya Kartini.
Cut Nyak Dhien, adalah seorang pahlawan wanita dari Aceh yang bersama suaminya Teuku Umar mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda.
Cut Meutia dalah tokoh pahlawan dari Aceh yang bersama suaminya Teuku Cik Tunong juga mengangkat senjata dan berperang melawaan Belanda.
Rahma el-Yunusia di Padang juga mendirikan sekolah-sekolah bagi anak perempuan; dan dia sangat tegas menolak semua tawaran Belanda untuk memberinya subsidi, karena dia tidak ingin terikat.
Rohana Kudus, adalah wanita Indonesia pertama yang memimpin surat kabar Soenting Melaju. Ia menjadi pioner perdebatan gender dan hak-hak wanita Minangkabau.
Mengapa harus Kartini yang menjadi Pahlawan Emansipasi Wanita ? Bukankah nama-nama diatas juga pantas mendapat gelar tersebut. Perjuangan mereka lebih nyata dan bukan sekedar pemikiran yang ditungkan dalam surat korespondensi dengan teman.
1 comments:
Hello, how are you? i come visit your web and i liked so much, your site is very interesting, can you visit my page too? is about my country, Chile. have a nice day :)
bye
http://www.tourxchile.es.tl
Post a Comment