
Bulan Juli ini, Kurikulum 2013 mulai diberlakukan untuk sekolah-sekolah percontohan. Bertepatan dengan mulai masuknya tahun pelajaran baru tahun pelajaran 2013/2014, pemerintah resmi memberlakukan Kurikulum 2013. Secara resmi menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, telah melaunching pemberlakuan kurikulum 2013. Dengan kurikulum 2013 diharapkan akan muncul generasi emas untuk menciptakan manusia yang unggal dan inovatif serta memiliki karakter yang baik, toleran, rukun dan cinta damai.
Perubahan Kurikulum memang harus dilakukan, di mana pun, sebetulnya hampir sama, selalu membutuhkan penyesuaian pola pikir para pemangku kepentingan (stake holder). Yayasan, kepala sekolah, guru satuan pendidikan dan pengawas sekolah perlu memahami perubahan kurikulum itu. Demikian pula yang terjadi pada Kurikulum 2013 ini, yang hanya akan sukses bila ada perubahan paradigma atau lebih tepatnya mindset para guru dalam proses pembelajaran. Sosialisasi dan pelatihan juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan Kurikulum 2013. Nah yang ini aneh karena saya sebagai guru bahkan baru mendapatkan pelatihan setelah kegiatan belajar mengajar sudah berjalan beberapa hari. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, tetapi apakah Kurikulum 2013 ini memang telah matang dan siap untuk dilaksanakan? Mengapa pelatihannya terlambat?
Yang menjadi substansi pokok perubahan Kurikulum 2006 (KTSP) ke Kurikulum 2013 ini adalah perubahan proses pembelajaran, pada Kurikulum 2006 guru memegang peranan pokok dan menjadi figur central dalam pembelajaran, guru menerangkan sedangkan murid mendengarkan. Pada Kurikulum 2013 ini proses pembelajaran berubah karena yang menjadi figur central adalah siswa, mereka melakukan pengamatan, bertanya, mengeksplorasi, mencoba, dan mengekspresikannya. Proses pembelajaran yang diterapkan pada kurikulum 2013 adalah Pendekatan ilmiah (Saintifik)
Proses pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif tersebut hanya mungkin terwujud bila mindset guru telah berubah. Mereka tidak lagi memiliki mindset bahwa mengajar harus di dalam kelas dan menghadap ke papan tulis. Pembelajaran bisa dilakukan dimana saja, di luar kelas, perpustakaan, kebun, depan sekolah, pasar, dan sebagainya. Media pembelajaran pun tidak harus buku, alat peraga, atau komputer. Lingkungan sekitar, tanam-tanaman dan pohon di kebun, sungai, dan sejenisnya juga dapat menjadi media pembelajaran.
Karena sudah berpuluhan tahun mengajar, merubah mindset guru sebagaimana diatas bukanlah perkara gampang, Kemendikbud perlu kerja ekstra untuk benar-benar menyosialisasikan kurikulum 2013 dan melakukan training ke sekolah-sekolah yang telah siap mengimplementasikan kurikulum 2013.
Pelatihan yang dilakukan hanya selama 5 hari yang saya ikuti pada tanggal 9 sampai 13 Juli 2013 tidaklah cukup, karena menurut hemat saya, perubahan mindset tidaklah bisa dirubah dengan instan dan sulapan. Perubahan harus didorong secara terus menerus dengan memotivasi guru untuk melakukan pembelajaran dengan model fasilitator dan bukan gaya bank.
Memang perubahan dimana-mana akan menimbulkan ketidakpastian, dan oleh karena itu, ketidakpastian itu perlu untuk segera dikaji dan dibenahi oleh berbagai pihak guna penyempurnaan kurikulum 2013 ini. Disamping problem perubahan mindset guru tersebut, secara teknis dari pengamatan saya di lapangan ada beberapa kendala teknis yang akan dihadapi dalam implementasi kurikulum 2013 ini.
Pertama kali membaca draft tentang Kurikulum 2013 agak kaget dan kecewa juga, Mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang merupakan mata pelajaran baru ternyata dihapus. Padahal sekarang era teknologi informatika. Dengan dihapusnya mata pelajaran TIK di SMP berimplikasi besar kepada para pengampu mata pelajaran TIK yang berlatar belakang TIK. Bagi guru yang mempunyai kompetensi IPA atau Matematika bisa disalurkan ke peminatan IPA atau Matematika, tetapi bagi yang murni TIK maka bagaimana dengan nasib mereka? Pertanyaanya adalah adakah kebijakan yang bisa mendukung konversi guru sebagaimana diatas? Dalam konteks ini guru bisa jadi korban dan perebutan jam mengajar bagi guru sertifikasi pun tidak terelakkan.
Selain itu penambahan jam yang terjadi hampir disetiap jenjang pendidikan, mulai SD-SMP-SMA. Sebagai contoh, pendidikan agama di SD kelas I-III dari dua menjadi empat jam seminggu, yang diikuti dengan perumusan kompetensi dasar (KD) yang seimbang dengan jumlah jamnya, sehingga yang terjadi tetap mengejar materi, bukan proses pembelajarannya yang dibenahi. Padahal yang diharapkan adalah adalah elaborasi yang lebih leluasa dari guru mata pelajaran, sehingga mereka bisa melakukan proses pembelajaran dengan lebih leluasa.
Baca selanjuntnya...